BLORA | Infojatengnews.com— Kasus penangkapan tiga wartawan di Blora pada 22 Mei 2025 kini memasuki babak baru. Dalam konferensi pers yang digelar belum lama ini, kuasa hukum ketiga wartawan, John L. Situmorang, S.H., M.H., mengungkap fakta mengejutkan yang berpotensi membalikkan narasi publik.
John menyebut bahwa permintaan untuk menurunkan berita investigasi justru berasal dari seorang bernama Didik, yang mengaku sebagai kepala gudang milik oknum TNI AD. Ironisnya, oknum TNI AD tersebut kini menjadi pelapor dalam kasus dugaan pemerasan yang menjerat tiga jurnalis itu.
> “Permintaan untuk menurunkan berita bukan berasal dari inisiatif wartawan, tapi justru dari Sdr. Didik, yang diduga kuat terlibat dalam jaringan mafia BBM subsidi,” ungkap John dengan tegas.
Bukti BAP Ungkap Dugaan Skenario Kriminalisasi
Fakta yang terangkum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menunjukkan bahwa permintaan penurunan berita datang dari Didik. Bahkan, sebelum penangkapan, uang sebesar Rp4 juta dari total kesepakatan Rp10 juta sempat disodorkan oleh Didik sebagai “biaya” untuk penghapusan berita.
> “Ini bukan pemerasan. Ini lebih mirip jebakan. Jika permintaan dan uang datang dari pihak pelapor, lalu mengapa justru wartawan yang dijadikan tersangka?” kata John penuh keheranan.
Aroma Permufakatan Jahat, Oknum Aparat Diduga Terlibat
John menduga adanya permufakatan jahat antara pelapor dan oknum di Polres Blora. Ia menilai proses hukum dalam kasus ini sarat rekayasa, manipulatif, dan mengarah pada upaya pembungkaman terhadap kerja jurnalistik yang sedang mengungkap praktik penyelewengan distribusi BBM bersubsidi.
> “Ini bukan penegakan hukum, ini bentuk pembungkaman informasi publik. Wartawan kami sedang bekerja, bukan memeras. Justru mereka yang ditawari uang agar berita tak tayang,” tegasnya.
Analisis Yuridis: Unsur Pemerasan Tidak Terpenuhi
Dalam kajian hukum, John menjelaskan bahwa unsur pidana Pasal 368 KUHP tentang pemerasan tidak terpenuhi. Tidak ada unsur paksaan atau ancaman dari wartawan kepada pelapor. Justru ada indikasi gratifikasi dari pelapor, yang notabene terhubung dengan aparat negara.
John mendesak agar proses hukum juga menyentuh pihak-pihak yang diduga menyusun skenario ini, termasuk pelapor dan penyidik yang terlibat.
Kritik Keras Terhadap Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi sorotan nasional karena dinilai mencerminkan wajah buram penegakan hukum di Indonesia. Mengapa wartawan yang menanggapi permintaan justru dikriminalisasi, sementara pihak yang menawarkan uang dan diduga bagian dari jaringan BBM ilegal tidak tersentuh?
> “Jika benar ada mafia BBM subsidi, mengapa bukan itu yang ditindak? Mengapa justru orang yang memberitakan fakta yang dipenjara?” kecam John.
Langkah Hukum Berlanjut: Dilaporkan ke Polda, Kejati, dan POMDAM
John mengungkap bahwa pihaknya telah melayangkan pengaduan resmi ke berbagai institusi pengawas:
Pengawas Penyidik Ditreskrimum Polda Jateng untuk meminta gelar perkara khusus.
Pengawas Kejati Jateng dan Jamwas Kejagung RI, serta Komisi Kejaksaan RI untuk menyoroti dugaan pelanggaran etika oleh jaksa penuntut umum.
POMDAM IV/Diponegoro untuk menindaklanjuti laporan terhadap oknum TNI yang terlibat.
Kesimpulan: Siapa Sebenarnya yang Memeras Siapa?
Kini publik bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang memeras, dan siapa yang menjadi korban? Apakah ini murni kasus pidana, atau justru operasi senyap untuk membungkam suara kritis terhadap mafia BBM bersubsidi?
> “Penegakan hukum tanpa keadilan adalah tirani. Kasus ini penuh tanda tanya dan harus dibuka seterang-terangnya. Rakyat berhak tahu, siapa yang bersembunyi di balik seragam,” pungkas John.
Tim Red
Social Footer